nah kali ini wabeku island akan membahas tentang film indonesia ini yaitu Brandal Brandal Ciliwung,
ini adalah salah satu film anak yang sudah berkembang menjdi trend nah ini dia tentang tentang film ini.
kalaw dah baca jangan lupa berikan like dan komentar anda ya :)
BRANDAL-BRANDAL CILIWUNG
Sutradara : Guntur Soeharjanto
Produksi : Maxima Pictures, 2012
Tak ada yang tahu kalau film anak sekarang sudah berkembang menjadi trend di perfilman kita, apalagi yang diadaptasi dari novel dengan kelas klasik atau best seller. Ada ‘Laskar Pelangi’ dan ‘Negeri 5 Menara’ yang gayungnya bersambut dengan baik. Di satu sisi, kita mungkin harus senang, tak peduli kecenderungan itu datang karena niat baik atau atas ketidakmampuan produser membaca pasar yang entah lebih dekat ke genre-nya atau justru source-nya, bahwa bermunculannya film-film ini memberi angin segar bagi pemirsa belia yang selama ini terus-menerus dipaksa menyaksikan tema-tema dewasa ala sinetron. Kenyataan lagi bahwa genre ini dulunya bahkan kerap jadi genre yang sering ditinggalkan produser serta penonton. So, katakanlah, kalaupun ini mau dianggap trend ikut-ikutan, ini adalah aji mumpung yang bermanfaat, kalaupun tanpa niat baik di belakangnya.
But then again, ada satu pola yang salah di film-film kita kebanyakan. Bahwa tampilan anak-anak dalam film bergenre mereka terkadang hanya digunakan sebagai atribut belaka. Mungkin karena pengaruh sinetron, akting mereka kehilangan atau malah dipaksa untuk kehilangan kepolosan anak-anaknya. Dari gestur dan mimik, fisik kecilnya seakan hanya jadi media untuk diisi jiwa dan pikiran orang dewasa. Apa yang muncul kemudian adalah skrip yang menempatkan karakter anak-anak itu sebagai orang berpikiran dan bersikap jauh melampaui usianya, dan untuk sebuah edukasi, yang tak mungkin tidak harus dihadirkan dalam genre ini (kalaupun Anda malu menyebutnya pesan moral), ini kurang bagus. Dan ‘Brandal-Brandal Ciliwung’, salahnya harus berurusan dengan masalah itu, yang justru muncul dalam bentukan karakter-karakter utamanya. Belum lagi nakal-nakalnya Maxima yang kembali muncul dalam pakem mereka melucu dengan atribut-atribut cewek seksi tanpa menyadari ini adalah film anak-anak, dan satu yang juga selalu mengganggu. Film kita sering terkesan terlalu menjual fisik berupa kecantikan paras ketimbang kecocokan dalam karakternya.
Lewat narasi Tirto (Aldy Rialdy Indrawan), kita pun dibawa ke sebuah geng anak-anak penghuni pinggir Kali Ciliwung yang kumuh. Selain Tirto yang orang Jawa asli, ada Timur (Julian Liberty), anak Papua, Umar (Sehan Zack) yang keturunan Arab, Raja (M. Syafikar), anak keluarga Batak yang dipaksa orangtuanya harus bisa menyanyi seperti rata-rata orang Batak kebanyakan, serta pemimpin mereka, anak betawi asli Jaka (Endy Arfian ; yang justru berwajah sangat bule dengan ibu yang juga sebelas-duabelas diperankan olehIra Wibowo). Menamakan diri mereka Pasukan Ciliwung, di tengah kenakalan-kenakalannya mereka justru rajin bergotong-royong membersihkan kali demi bisa nyaman melakukan balap renang. Seteru mereka adalah geng anak-anak kaya di seberang Kali Ciliwung yang suka membuat keonaran. Konflik mulai terjadi kala seorang gadis Tionghoa tomboy bernama Sissy (Gritte Agatha) masuk ke dalam kehidupan mereka. Sissy yang dalam usaha melarikan diri dari sang Ibu (Olga Lydia) menyambangi engkongnya, Babah Alun (Hengky Soelaiman) yang membuka usaha pabrik tahu di lingkungan itu. Kedatangan Sissy mulai membuat perpecahan diantara Pasukan Ciliwung bersama masalah pribadi masing-masing, namun di saat yang sama mereka juga harus bertanding menghadapi geng lawan di festival getek hias yang dilangsungkan di tengah-tengah Kali Ciliwung.
Lewat tampilan fisik mereka yang menarik, cantik serta lucu-lucu, pemeran utama para anak-anak yang didampingi beberapa aktor senior seperti Hengky Soelaiman, Ira Wibowo, Olga Lydia, Joe P. Project dan Lukman Sardi ini memang mampu dengan cepat mencuri hati penontonnya. Chemistry mereka juga terjalin cukup baik dengan penekanan-penekanan seimbang diantara karakter masing-masing, namun masalahnya terletak pada akting yang terasa jauh berada di atas usia mereka.
Kerap kali, mereka, terutama Endy Arfian yang sebelumnya sudah muncul dalam ‘The Perfect House’, Aldy Rialdy dan Gritte Agatha, muncul dengan akting ala orang dewasa, dan penjelasan karakternya juga sedikit serba kontradiktif dengan bangunannya. Kita bisa merasa bangga ketika mereka menunjukkan kemauannya bergotong-royong membersihkanKali Ciliwung dari sampah-sampah ulah masyarakat, bermain kasti atau belajar taichi, serta bergaul tanpa memandang suku, namun pola pikir serta detil-detil karakterisasi yang lain, tak kalah moody dengan pola sinetron kita. Bahkan anak-anak ini digambarkan tak segan buat tawuran dengan geng lawan di bagian-bagian awalnya, dan seringnya, tampilan kebanyakan karakter itu sama sekali tak tampak pas sebagai bagian-bagian masyarakat yang harus survive di tengah-tengah lingkungan kumuh Kali Ciliwung. Selain benturan ini, pilihan klimaks yang harusnya jadi arena kompetitif itu juga terasa mentah tanpa kesan. Walau adegan penutupnya ternyata cukup baik, klimaks kompetisi itu hadir kelewat cepat tanpa pendahulu-pendahulu cukup detil dan harus membagi konfliknya lagi dengan masalah keluarga Sissy dan sepenggal twist dalam kisah Tirto untuk diletakkan sebagai ending.
Tapi untunglah, kekurangan itu sedikit banyak bisa ditutupi oleh skrip adaptasi Alim Sudio yang membawa serta juga penulis asli novelnya, Achmad S., dalam meracik pesan-pesan sosial serta lingkungannya. Walau sedikit pretensius, tapi pesan pluralisme, baik suku atau reliji yang tergambar dengan baik disini, justru sesuatu yang sering luput dari film kita kebanyakan, terutama film anak. Lihat betapa ‘Upin & Ipin’ bisa menyempalkan pesan pluralisme dan ke-bhinneka-an itu ke dalam plot-plot serialnya yang tetap terasafun tanpa harus menceramahi macam-macam. Bersama pesan kebersihan lingkungan tak layak huni yang seakan tak lagi mungkin terselamatkan di tengah-tengah puncak gedung tinggi yang hadir dalam sinematografi metaforik itu, let’s look on the bright side. Seperti karakter-karakternya yang tampak tetap bahagia jadi bagian dari lingkungan Kali Ciliwung itu, paling tidak, ini adalah bangunan pesan yang membuat sebagian reaksi konflik kurang masuk akal dan tampilan aktor-aktor senior yang mubazir kecuali Hengky Soelaiman itu berbaur menjadi flow yang enak buat diikuti dibalik masa putarnya yang cukup panjang.Storytelling Guntur Soeharjanto yang sering agak melompat dalam film-film hasil penyutradaraannya juga jadi terasa jauh lebih enak, dan skor dari Joseph S. Djafar harus diakui bisa mentackle kekurangan-kekurangan skripnya buat memberi rasa, bersama lagu-lagu pengisi soundtrack dari Slank hingga lagu klasik Benyamin S.
So yes, Ody M. Hidayat dan Maxima-nya mungkin masih harus belajar untuk benar-benar melepas pakem film-film mereka yang penuh hura-hura demi menelusuri genre lain yang cukup bertolak belakang ini. Tak perlu juga jadi satir sosial yang dipenuhi karakter-karakter penuh derita, namun bisa tetap riang gembira bila hal-hal krusial dalam penerjemahan plotnya bisa lebih dibenahi secara lebih baik. Dan mari tak menampik pesan moral yang memang penting ada di genre-genre seperti ini. Dibalik kekurangannya, ‘Brandal-Brandal Ciliwung’ sudah mampu tampil sebagai film anak dengan pesan-pesan yang seimbang selain juga cukup menghibur, dan sebagai usaha awal, ini perlu dihargai lebih. (dan)
BRANDAL-BRANDAL CILIWUNG
Sutradara : Guntur Soeharjanto
Produksi : Maxima Pictures, 2012
Tak ada yang tahu kalau film anak sekarang sudah berkembang menjadi trend di perfilman kita, apalagi yang diadaptasi dari novel dengan kelas klasik atau best seller. Ada ‘Laskar Pelangi’ dan ‘Negeri 5 Menara’ yang gayungnya bersambut dengan baik. Di satu sisi, kita mungkin harus senang, tak peduli kecenderungan itu datang karena niat baik atau atas ketidakmampuan produser membaca pasar yang entah lebih dekat ke genre-nya atau justru source-nya, bahwa bermunculannya film-film ini memberi angin segar bagi pemirsa belia yang selama ini terus-menerus dipaksa menyaksikan tema-tema dewasa ala sinetron. Kenyataan lagi bahwa genre ini dulunya bahkan kerap jadi genre yang sering ditinggalkan produser serta penonton. So, katakanlah, kalaupun ini mau dianggap trend ikut-ikutan, ini adalah aji mumpung yang bermanfaat, kalaupun tanpa niat baik di belakangnya.
But then again, ada satu pola yang salah di film-film kita kebanyakan. Bahwa tampilan anak-anak dalam film bergenre mereka terkadang hanya digunakan sebagai atribut belaka. Mungkin karena pengaruh sinetron, akting mereka kehilangan atau malah dipaksa untuk kehilangan kepolosan anak-anaknya. Dari gestur dan mimik, fisik kecilnya seakan hanya jadi media untuk diisi jiwa dan pikiran orang dewasa. Apa yang muncul kemudian adalah skrip yang menempatkan karakter anak-anak itu sebagai orang berpikiran dan bersikap jauh melampaui usianya, dan untuk sebuah edukasi, yang tak mungkin tidak harus dihadirkan dalam genre ini (kalaupun Anda malu menyebutnya pesan moral), ini kurang bagus. Dan ‘Brandal-Brandal Ciliwung’, salahnya harus berurusan dengan masalah itu, yang justru muncul dalam bentukan karakter-karakter utamanya. Belum lagi nakal-nakalnya Maxima yang kembali muncul dalam pakem mereka melucu dengan atribut-atribut cewek seksi tanpa menyadari ini adalah film anak-anak, dan satu yang juga selalu mengganggu. Film kita sering terkesan terlalu menjual fisik berupa kecantikan paras ketimbang kecocokan dalam karakternya.
Lewat narasi Tirto (Aldy Rialdy Indrawan), kita pun dibawa ke sebuah geng anak-anak penghuni pinggir Kali Ciliwung yang kumuh. Selain Tirto yang orang Jawa asli, ada Timur (Julian Liberty), anak Papua, Umar (Sehan Zack) yang keturunan Arab, Raja (M. Syafikar), anak keluarga Batak yang dipaksa orangtuanya harus bisa menyanyi seperti rata-rata orang Batak kebanyakan, serta pemimpin mereka, anak betawi asli Jaka (Endy Arfian ; yang justru berwajah sangat bule dengan ibu yang juga sebelas-duabelas diperankan olehIra Wibowo). Menamakan diri mereka Pasukan Ciliwung, di tengah kenakalan-kenakalannya mereka justru rajin bergotong-royong membersihkan kali demi bisa nyaman melakukan balap renang. Seteru mereka adalah geng anak-anak kaya di seberang Kali Ciliwung yang suka membuat keonaran. Konflik mulai terjadi kala seorang gadis Tionghoa tomboy bernama Sissy (Gritte Agatha) masuk ke dalam kehidupan mereka. Sissy yang dalam usaha melarikan diri dari sang Ibu (Olga Lydia) menyambangi engkongnya, Babah Alun (Hengky Soelaiman) yang membuka usaha pabrik tahu di lingkungan itu. Kedatangan Sissy mulai membuat perpecahan diantara Pasukan Ciliwung bersama masalah pribadi masing-masing, namun di saat yang sama mereka juga harus bertanding menghadapi geng lawan di festival getek hias yang dilangsungkan di tengah-tengah Kali Ciliwung.
Lewat tampilan fisik mereka yang menarik, cantik serta lucu-lucu, pemeran utama para anak-anak yang didampingi beberapa aktor senior seperti Hengky Soelaiman, Ira Wibowo, Olga Lydia, Joe P. Project dan Lukman Sardi ini memang mampu dengan cepat mencuri hati penontonnya. Chemistry mereka juga terjalin cukup baik dengan penekanan-penekanan seimbang diantara karakter masing-masing, namun masalahnya terletak pada akting yang terasa jauh berada di atas usia mereka.
Kerap kali, mereka, terutama Endy Arfian yang sebelumnya sudah muncul dalam ‘The Perfect House’, Aldy Rialdy dan Gritte Agatha, muncul dengan akting ala orang dewasa, dan penjelasan karakternya juga sedikit serba kontradiktif dengan bangunannya. Kita bisa merasa bangga ketika mereka menunjukkan kemauannya bergotong-royong membersihkanKali Ciliwung dari sampah-sampah ulah masyarakat, bermain kasti atau belajar taichi, serta bergaul tanpa memandang suku, namun pola pikir serta detil-detil karakterisasi yang lain, tak kalah moody dengan pola sinetron kita. Bahkan anak-anak ini digambarkan tak segan buat tawuran dengan geng lawan di bagian-bagian awalnya, dan seringnya, tampilan kebanyakan karakter itu sama sekali tak tampak pas sebagai bagian-bagian masyarakat yang harus survive di tengah-tengah lingkungan kumuh Kali Ciliwung. Selain benturan ini, pilihan klimaks yang harusnya jadi arena kompetitif itu juga terasa mentah tanpa kesan. Walau adegan penutupnya ternyata cukup baik, klimaks kompetisi itu hadir kelewat cepat tanpa pendahulu-pendahulu cukup detil dan harus membagi konfliknya lagi dengan masalah keluarga Sissy dan sepenggal twist dalam kisah Tirto untuk diletakkan sebagai ending.
Tapi untunglah, kekurangan itu sedikit banyak bisa ditutupi oleh skrip adaptasi Alim Sudio yang membawa serta juga penulis asli novelnya, Achmad S., dalam meracik pesan-pesan sosial serta lingkungannya. Walau sedikit pretensius, tapi pesan pluralisme, baik suku atau reliji yang tergambar dengan baik disini, justru sesuatu yang sering luput dari film kita kebanyakan, terutama film anak. Lihat betapa ‘Upin & Ipin’ bisa menyempalkan pesan pluralisme dan ke-bhinneka-an itu ke dalam plot-plot serialnya yang tetap terasafun tanpa harus menceramahi macam-macam. Bersama pesan kebersihan lingkungan tak layak huni yang seakan tak lagi mungkin terselamatkan di tengah-tengah puncak gedung tinggi yang hadir dalam sinematografi metaforik itu, let’s look on the bright side. Seperti karakter-karakternya yang tampak tetap bahagia jadi bagian dari lingkungan Kali Ciliwung itu, paling tidak, ini adalah bangunan pesan yang membuat sebagian reaksi konflik kurang masuk akal dan tampilan aktor-aktor senior yang mubazir kecuali Hengky Soelaiman itu berbaur menjadi flow yang enak buat diikuti dibalik masa putarnya yang cukup panjang.Storytelling Guntur Soeharjanto yang sering agak melompat dalam film-film hasil penyutradaraannya juga jadi terasa jauh lebih enak, dan skor dari Joseph S. Djafar harus diakui bisa mentackle kekurangan-kekurangan skripnya buat memberi rasa, bersama lagu-lagu pengisi soundtrack dari Slank hingga lagu klasik Benyamin S.
So yes, Ody M. Hidayat dan Maxima-nya mungkin masih harus belajar untuk benar-benar melepas pakem film-film mereka yang penuh hura-hura demi menelusuri genre lain yang cukup bertolak belakang ini. Tak perlu juga jadi satir sosial yang dipenuhi karakter-karakter penuh derita, namun bisa tetap riang gembira bila hal-hal krusial dalam penerjemahan plotnya bisa lebih dibenahi secara lebih baik. Dan mari tak menampik pesan moral yang memang penting ada di genre-genre seperti ini. Dibalik kekurangannya, ‘Brandal-Brandal Ciliwung’ sudah mampu tampil sebagai film anak dengan pesan-pesan yang seimbang selain juga cukup menghibur, dan sebagai usaha awal, ini perlu dihargai lebih. (dan)
Bagaimana ..........? jangan lupa berikan like dan komentar anda
{ 0 komentar... Skip ke Kotak Komentar }
Tambahkan Komentar Anda